Thursday, December 27, 2007

I Am Legend vs 28 Days Later


Sulit untuk tidak membandingkan I Am Legend dengan film bertema sama tahun 2002 (dirilis di Indonesia tahun 2004), 28 Days Later. Keduanya sama-sama menampilkan sosok seorang survivor; satu-satunya orang yang selamat dari outbreak satu virus ganas yang memusnahkan hampir semua umat manusia. Menjadikan sebagian manusia lainnya menjadi zombie karena mutasi genetis.

Baik 28 Days Later maupun I Am Legend juga menggambarkan keadaan kota yang sepi, mati, tanpa tanda-tanda kehidupan. London di 28 Days Later terasa begitu sepi, gelap, dan suasana sebagai kota mati lebih terasa. Sementara suasana sepi kota New York di I Am Legend entah mengapa buatku terasa kurang menggigit. Roh sepinya terasa absen. Apakah mungkin karena suasana sepi di IAL lebih banyak merupakan hasil CGI (Computer Generated Imagery). Udah kebayang repotnya kaya apa menutup jalan kota New York, pasti banyak orang misuh-misuh karena ritme hidupnya terganggu di hari-hari itu.

Namun begitu, I Am Legend juga menawarkan sesuatu yang absen dari 28 Days Later. IAL memberi gambaran kondisi psikologis sang tokoh utama yang diperankan oleh Will Smith, selama hidup sendirian selama bertahun-tahun, dan adaptasi yang dilakukannya untuk bertahan hidup dalam kesendirian. Hanya ditemani oleh seekor anjing, sang tokoh kita berusaha untuk menjaga agar dirinya tetap hidup dan waras, dengan sebisa mungkin melakukan interaksi sosial, dengan anjingnya, dan dengan banyak boneka manekin yang dia beri nama dan dia sapa layaknya dia menyapa
orang betulan. Miris sekali melihatnya, tapi sisi ini menurutku jadi satu daya tarik film ini. Sebuah skenario imajiner yang akbar tentang satu orang yang hidup sendiri di dunia ini, hanya berteman seekor anjing, pasti akan memberikan efek psikologis terhadap orang tersebut. Minimal dia akan agak gendeng kurang waras nanti. Sosok-sosok antagonis dalam hal ini zombie-zombie pemakan manusia semuanya hasil rekaan CGI. Sang produser berpendapat bahwa manusia tidak bisa memberikan gerakan-gerakan yang dituntut oleh skenario. Oleh karena itu, diambillah keputusan utk menjadikan semua zombie hasil CGI. Untuk sisi ini, harus kuakui, 28 Days Later lebih mumpuni. Karena menggunakan aktor-aktor figuran asli utk memerankan zombie, semua gerakan terasa lebih asli dan manusiawi. Akibatnya efek realismenya lebih terasa. Sayang sekali sosok zombie dalam I Am Legend tidak diperankan oleh manusia, konflik yang akan mengerucut ke akhir cerita bisa lebih terasa dalam.

Sebagai penutup, tidak perlulah kita pusingkan mengenai akhir cerita, karena resep yang sama selalu digunakan Hollywood, sang hero tetap bertahan hidup, atau bisa jadi dia mati tapi matinya dia akan membawa perbedaan terhadap semua yang pernah terjadi. Yang jelas, film ini sangat bisa dinikmati. Sebuah genre lawas namun digarap dengan lebih maksimal.

1 comment:

Anonymous said...

Paling sebel adegan waktu SAM di cekik... poor doggie.. honestly nggak terlalu suka filmnya, will smith nggak pantes aja maen di film model beginian