Thursday, December 27, 2007

Knocked Up


Film komedi ini dirilis Juni 2007 di bioskop di AS. Di Indonesia, aku baru temui di tempat jual beli dvd di Ambas bulan November 2007. Ceritanya sangat sederhana, namun menarik.

Untuk merayakan promosinya, Alison (Katherine Heigl) pergi ke bar dan disana ia bertemu dengan seorang pemuda pengangguran asal-asalan, Ben Stone (Seth Rogen). Mereka ngobrol bareng, mabok-mabokan minum miras bareng juga, dan terakhir em-el bobok bareng. Istilah gawul anak muda jaman sekarangnya adalah "berdiri semalaman" alias one night-stand. Keesokan harinya mereka berpisah sambil berharap gak akan ketemu lagi (untuk Alison), dan pengen ketemu lagi (untuk si keriting Ben).

Namun tak dinyana tak diduga, delapan minggu kemudian, Alison bunting positif hamil. Berita kehamilan ini pun disampaikan kepada Ben, yang langsung blingsatan ala cacing kepanasan. Di luar dugaan, si jobless Ben (setelah menerima nasehat kiri kanan agar menggugurkan aja kandungan itu) memutuskan untuk bersikap jentelmen gentlemen dan mendukung Alison dalam meneruskan kehamilannya.

Sampai titik ini ceritanya menjadi lebih menarik. Knocked Up berubah dari sekedar komedi menjadi drama tentang cinta, pengorbanan, dan perubahan seseorang menjadi lebih dewasa. Ben yang pengangguran hanya punya uang 100 dolar di rekeningnya. Website yang dia rintis bersama teman-teman satu kosan (atau satu kontrakan?) masih berada dalam tataran konseptual, masih jauh dari operasional. Di lain pihak, Alison, berjuang menghadapi masa awal kehamilan (a.k.a. muntah muntah di pagi hari) berusaha menyembunyikan kehamilannya karena takut mendapat sanksi dari kantornya.

Di film ini kita akan melihat transisi dari kedua tokoh utama kita. Ben yang asal-asalan lambat laun mulai menyadari tanggung jawabnya sebagai calon ayah. Begitu pula dengan Alison, yang akhirnya memutuskan untuk memelihara bayi itu sendiri. Film ini memang simpel, namun banyak nilai positif yang bisa kita ambil.

I Am Legend vs 28 Days Later


Sulit untuk tidak membandingkan I Am Legend dengan film bertema sama tahun 2002 (dirilis di Indonesia tahun 2004), 28 Days Later. Keduanya sama-sama menampilkan sosok seorang survivor; satu-satunya orang yang selamat dari outbreak satu virus ganas yang memusnahkan hampir semua umat manusia. Menjadikan sebagian manusia lainnya menjadi zombie karena mutasi genetis.

Baik 28 Days Later maupun I Am Legend juga menggambarkan keadaan kota yang sepi, mati, tanpa tanda-tanda kehidupan. London di 28 Days Later terasa begitu sepi, gelap, dan suasana sebagai kota mati lebih terasa. Sementara suasana sepi kota New York di I Am Legend entah mengapa buatku terasa kurang menggigit. Roh sepinya terasa absen. Apakah mungkin karena suasana sepi di IAL lebih banyak merupakan hasil CGI (Computer Generated Imagery). Udah kebayang repotnya kaya apa menutup jalan kota New York, pasti banyak orang misuh-misuh karena ritme hidupnya terganggu di hari-hari itu.

Namun begitu, I Am Legend juga menawarkan sesuatu yang absen dari 28 Days Later. IAL memberi gambaran kondisi psikologis sang tokoh utama yang diperankan oleh Will Smith, selama hidup sendirian selama bertahun-tahun, dan adaptasi yang dilakukannya untuk bertahan hidup dalam kesendirian. Hanya ditemani oleh seekor anjing, sang tokoh kita berusaha untuk menjaga agar dirinya tetap hidup dan waras, dengan sebisa mungkin melakukan interaksi sosial, dengan anjingnya, dan dengan banyak boneka manekin yang dia beri nama dan dia sapa layaknya dia menyapa
orang betulan. Miris sekali melihatnya, tapi sisi ini menurutku jadi satu daya tarik film ini. Sebuah skenario imajiner yang akbar tentang satu orang yang hidup sendiri di dunia ini, hanya berteman seekor anjing, pasti akan memberikan efek psikologis terhadap orang tersebut. Minimal dia akan agak gendeng kurang waras nanti. Sosok-sosok antagonis dalam hal ini zombie-zombie pemakan manusia semuanya hasil rekaan CGI. Sang produser berpendapat bahwa manusia tidak bisa memberikan gerakan-gerakan yang dituntut oleh skenario. Oleh karena itu, diambillah keputusan utk menjadikan semua zombie hasil CGI. Untuk sisi ini, harus kuakui, 28 Days Later lebih mumpuni. Karena menggunakan aktor-aktor figuran asli utk memerankan zombie, semua gerakan terasa lebih asli dan manusiawi. Akibatnya efek realismenya lebih terasa. Sayang sekali sosok zombie dalam I Am Legend tidak diperankan oleh manusia, konflik yang akan mengerucut ke akhir cerita bisa lebih terasa dalam.

Sebagai penutup, tidak perlulah kita pusingkan mengenai akhir cerita, karena resep yang sama selalu digunakan Hollywood, sang hero tetap bertahan hidup, atau bisa jadi dia mati tapi matinya dia akan membawa perbedaan terhadap semua yang pernah terjadi. Yang jelas, film ini sangat bisa dinikmati. Sebuah genre lawas namun digarap dengan lebih maksimal.

Wednesday, December 26, 2007

National Treasure 2 - Just another treasure hunter kinda movie


This is the sequel of the 2004 film, National Treasure. Nicolas Cage once again star as Benjamin Franklin Gates, a treasure hunter. The story follows the journey of Ben gates to clear his family name after someone accused his great great grandfather Thomas Gates of conspiring in the assasination of US President Abraham Lincoln. Ben, with the help of his friend Riley, and his ex-girl friend, Abigail, embark upon a journey that will take them to Paris, London, and deep into the cave in Mount Rushmore , trying to find clues that will lead them to the City of Gold, and also in doing so clear Thomas Gates name. They went through many obstacles, break many codes, and violates dozens of laws to find the ultimate treasure City of Gold. The findings of this treasure will prove that Thomas Gates was really an innocent man.

I initially expect this film will be different. That this film will offer something new in this treasure hunting genre. You know, kind a like "Lord of The Ring". The one that brings this genre to new heights, gives me a new amazing conspiracy theories to think about after, the one that really gives attention to detail and realism aspect of the film. I turned out to be wrong. My expectations are not met. The movie ended with the way I predicted. There even a time when I thought that this film is finally over, but it wasnt. It left me thinking, "I saw one movie quite like it before. Was it The Da Vinci Code, or.. National Treasure the first, or Indiana Jones series? I dont know". This film is so standard. The Inca's city of gold theme is so frequently used, you will instantly recognised it. The city and interior of the cave looks pretty artificial. I guess they must have used a lot of CGIs. The kidnapping of the Presidents looks too easy and simplistic. I must say, theres no way on earth anyone can pull a kidnapping of a President of the United States which are known to have a very thick layer of security. Very unlikely.

But dont get me wrong, this film does have its upside. I love the car chase scene in downtown London. Ben Gates hijacked a new Mercedes, being chased by bad guys in Range Rover, being shot at, bumped from sideways, almost run over people at pedestrian, and yet it still run fast like nothing happen. It always feels amazing to watch such a beautiful car being manhandled. I recommend, dont get your hopes too high guys. Just see it for the action sequence, or better watch it in your dvd player at home with friends and family. Dont waste a lot of money in this. Believe me.

Tuesday, December 18, 2007

Be With You - fiksi romantis ala Jepang


Buat yang suka nonton film fiksi yang romantis, film Jepang yang satu ini boleh jadi alternatif. Untuk mengobati kerinduan akan film romance yang akhir-akhir ini semakin jarang. Aku tonton film ini dalam format dvd hasil pinjaman. Hehe.. Ceritanya tentang seorang ibu bernama Mio, sebelum meninggal ia memberikan sebuah diary kepada anaknya, Yuji. Dalam diary itu, ibunya berjanji bahwa ia cuma pergi sebentar ke sebuah gugusan bintang di langit, dan ia akan kembali nanti saat musim hujan.

Ketika tiba musim hujan, Yuji bergegas ke sebuah tempat di tengah hutan ia biasa bermain, dan disana ia bertemu dengan seorang wanita yang sangat mirip ibunya, tapi wanita ini tidak mengingat apa-apa tentang dirinya. Yuji dan ayahnya, Takumi, yang percaya bahwa wanita itu adalah Mio, mengajak wanita itu ke rumah mereka. Disana, selama musim hujan, wanita ini tinggal, dan sedikit-sedikit belajar mengenal siapa dirinya. Kehidupan Yuji dan Takumi yang selama ini agak berantakan mulai sedikit berubah karena mereka ingin membuat kehadiran Mio yang singkat ini semengesankan mungkin. Yuji dan Takumi yang biasanya berantakan mulai berubah, pakaian yang berserakan, piring yang berhari-hari belum dicuci mulai mereka bersihkan. Yuji juga semakin bersemangat pergi ke kantor. Sementara itu, Mio lambat laun mulai menyadari siapa dirinya. Ia rajin bertanya kepada Yuji dan juga Takumi, tentang sifat-sifat dirinya. Taku juga menjelaskan awal bagaimana mereka bertemu pada awalnya. Sayangnya, semua mimpi indah ini harus berakhir ketika musim hujan berakhir. Yuji dan Takumi menerima kenyataan bahwa semua yang mereka alami selama ini adalah sebuah mimpi indah yang memang harus berakhir. Di akhir musim hujan, Mio akhirnya menghilang.

Film ini akan dibuka dengan adegan seorang tukang kue mengantar kue untuk ulangtahun Yuji ke 17. Sambil menjelaskan bahwa tahun depan mungkin tokonya akan tutup, si tukang kue memberitahu Yuji bahwa selama ini toko ini buka hanya untuk menepati janji kepada Mio, bahwa ia akan mengantar kue ulang tahun setiap hari ultah Yuji sampai Yuji berumur 17 tahun. Dari situ, adegan berganti ganti antara flashback dan masa kini untuk menjelaskan saat Mio dan Takumi bertemu. Film ini romantis tapi juga agak ada fiksinya. Adegan Mio menghilang utk terakhir kalinya rasanya sangat alien sekali. Ada cahaya putih dari atas, dan dirinya tiba-tiba semakin memudar.

Quill

Film yang dirilis tahun 2004 ini bercerita tentang kehidupan seekor anjing Labrador bernama Quill. Ceritanya bermula dari hari ketika Quill dilahirkan. Diceritakan dengan narasi suara untuk mengisahkan tingkah polahnya yang lucu. Quill kecil dilahirkan dengan tanda lahir berbentuk menyerupai salib atau silang di perutnya. Sebuah hal yang sangat langka terjadi pada seekor anjing sejenisnya.

Ketika berumur tiga bulan, Quill dititipkan pada pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak. Hal ini dimaksudkan sebagai orientasi untuk membiasakan Quill terhadap kehadiran manusia dan mempercayai manusia, serta untuk memberinya pendidikan dasar. Ketika berumur satu tahun, Quill sekali lagi berpisah dengan tuannya untuk dididik di sekolah anjing penuntun, dibawah didikan handlernya, Tawada. Walaupun pada awalnya terkesan lambat dalam menerima pelajaran, tetapi lambat laun Tawada menyadari bahwa Quill berbeda. Quill ternyata sangat patuh dan tidak mudah terganggu dgn keadaan sekelilingnya, sebuah kepribadian yang sangat cocok untuk menjadi anjing penuntun.

Melalui perantaraan Tawada, Quill dikenalkan kepada Watanabe, seorang lelaki tua buta yang keras kepala, yang pada awalnya sangat tidak percaya pada manfaat seekor anjing penuntun. Namun kemudian Tawada dapat meyakinkan Watanabe utk menggunakan jasa anjing penuntun, dan mulailah Watanabe berlatih bersama Quill. Sifat Quill yang penyabar, lambat laun mulai meluluhkan Watanabe, dan jadilah Quill sebagai anjing penuntun bagi Watanabe. Suka duka mereka jalani bersama, sampai akhirnya Watanabe meninggal karena penyakit diabetes yang telah lama dideritanya.

Pengabdian Quill sebagai anjing penuntun bagi orang buta berakhir ketika ia berumur 12 tahun. Saat itu, Quill yang telah menjadi anjing yang sangat tua, dipertemukan kembali kepada pasangan tanpa anak yang dulu pernah memeliharanya waktu kecil. Bersama mereka, Quill menjalani hari-hari akhir hidupnya, di tempat yang sama dengan tempat waktu kecilnya dulu, dimana semua kandang dan mainannya masih dibiarkan sama seperti saat ia masih berumur 3 bulan dulu. Quill meninggal ketika berusia 12 tahun dan 35 hari. Ditemani oleh pasangan suami istri yang menemaninya, tidur di sampingnya, ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau anda penggemar anjing, film ini harus anda tonton. You will feel warm at heart. Sayangnya cuma ada di dvd. Coba cari di ambas saja di tempat yang jual dvd. Pasti mereka punya di section film Jepang.

Monday, December 17, 2007

Jiffest time..!!!

It is the time of the year for Jiffest again. Unfortunately enough, i only had the opportunity to watch one of its screenings just a day before closing. For those of you who dont know what Jiffest is, it is Jakarta International Film Festival. This year, it is the 9th annual of Jiffest.

From their program book I learn that this year Jiffest screens more than 200 films from more than 30 countries. The venues for the screenings include Goethe Institut, Erasmus Huis, Djakarta XXI, Kineforum, and Blitz Megaplex.

The organising comittee sets up the festival as follows: 1. World Cinema; this section shows big films with already known names behind them. 2. Panorama; shows equally good films bit from lesser-known directors and actors. And number 3. House of Docs; shows top documentaries, and last 4. Variety; shows quality short films from around the world. Beginning this year, Jiffest also showcasing films from South East Asian countries. This year presentations was a feature about the legendary Malaysian actor, P. Ramlee, and a film from Singapore's talented film maker Royston Tan, "881". This year, Jiffest also hosted the "Indonesian Feature Film Competition", where all Indonesian films released from end of 2006 to 2007 will be screened for free. There's also Script Development Competition being held.

I watched the film titled "Atos Dos Homens" at the Goethe Institut. The film was a documentary about a massacre in Baixada, near the city of Rio de Janeiro, Brazil. It captures the lives of both residents and murderers who live in the same area. It turned out that the perpetrator were all corrupt police officer who went on rampage, on a day in March 2005.

Sunday, December 16, 2007

Something's Gotta Give

This is one of my favorite movie of all time. Never seem to get bored watching it all over again. Jack Nicholson fits nicely to play as Harry Sanborn, an old playboy-bachelor whose never married, always avoid serious commitments, owns like a dozen company, and has a reputation of never dated a girl over 30. One day, during the weekend that he spent together with Marin (Amanda Peet) at her house in Hamptons, her mother Erica Barry (Diane Keaton), a famous Broadway playwright, and her aunt Zoe (Francis Mc Dormand), Harry had a heart attack and was brought to a hospital nearby, where the entourage meet Doctor Julian Mercer, played by Keanu Reeves, who had a crush with Erica. Julian told them that Harry can not go home to New York due to his heart condition and was prescribed to stay at the Barry's residence in the Hamptons until he recovers.

During his stay, Harry proved to be a handful, but also fun and soulful companion to Erica, whose in the midst of finishing her latest play. Together they discover each other, and their fascination toward each other grows. Harry was thrilled to find that Erica, in her late 50s, was also fun to be with. And Erica feels that Harry is not as bad as his playboy type, and can be fun to talk to. And they both got intimate.

Harry's old habit die hard though. As soon as he's back in New York he begin dating young girls again. And then one night Erica who happen to be having dinner with Marin and her ex-husband saw Harry dating a beatiful young blonde. Erica was brokenhearted. She went back to the Hamptons, and channel her anger and frustation to finish her play. And so she finished her play which was inspired from real life experience she had with Harry. Meanwhile, that night Harry had a second heart attack, and was brought to a hospital.

Several months later, the play was a big hit in Broadway. And Erica now dates Mercer, the young doctor from Hamptons, and they were in Paris to celebrate her birthday. Harry, now look older and wiser, seeks closure to his feelings, and chase Erica to Paris. What dissapointed me was the ending. It was very Hollywood fairytale-style, (Mercer leave Erica for Harry), and they live happily ever after, or so it seems.

I like the soundtrack, I like the setting in the beach house in Hamptons. The interior was real nice. And moreover, I think Jack Nicholson is like playing his own self, and so does Diane Keaton. To me it was as if they were both born for the role they played. Jack with his boyish naughty grin and Diane who seem to never lost her beauty really brings color to this movie. Maybe its because the script was spesifically written for Jack Nicholson to play Harry Sanborn and Diane Keaton to play Erica Barry. Nancy Meyers, was also the writer/producer of the 2006 film The Holiday. After you watch this two movies, you can spot Meyer's style. Lots of nice music that give the right ambience to a specific scene. It's like cooking I guess. You pour in lots of different ingredients, and do a little tweaking of the recipe, and voila! A masterpiece.

Friday, December 7, 2007

American Gangster

Two Academy Award winner for best actor collided in this movie about the life of one notorious gangster in America, Frank Lucas. Denzel Washington (Oscar for Training Day) starred as Frank Lucas, the main character, and Russel Crowe (Oscar for Gladiator) as his opposite, Richie Roberts, the honest drug cop who tries to untangle the web of one drug trafficking network. American Gangster directed by Ridley Scott (Black Hawk Down).

The story revolved around Frank Lucas, who rises to the top of the crime world after his boss's death, using everything his boss has ever taught him. He quickly develop his wit, and saw an opportunity to make big bucks by transporting and selling high quality heroin directly from Southeast Asia, using his contact in the US military to provide for the transport. As his business grow larger, Lucas get help from his brothers, who he appointed as his lieutenant in his drug business. All his brothers own a legitimate business, which they uses for cover in laundering drug money. Meanwhile, Lucas maintain a life of low profile, discipline, and tried as hard to keep under the police radar.

In parallel timeline, Richie Roberts, trying hard to resist all temptations of being a cop, handover almost a million dollar he confiscated from a stake-out, after refusing his partner offering of splitting the money in two and not report the money to their superior. This move, make him famous, but also make his friends cautious and keep a distance with him. Later on, his superior appointed Richie to head the newly formed group of anti-narco cops, who will lead a group of honest cops, to tackle the flow of narcotics into New York and Jersey area.

Their life collided when Richie's ex partner dies of drug overdose, of a substance called Blue Magic, the drug Lucas marketed in downtown Harlem. Richie's team tries to track down the sales of Blue Magic, which led them to a Muhammad Ali boxing fight. In there for the first time, the team spotted the big boss of drug trafficking in Harlem, the man himself, Frank Lucas. From then on, the team's pursuit of Blue Magic, lead to Frank Lucas, and at the same time, Lucas's luck begin to run out after Vietnam War is over, which saw the military leaving Vietnam, and jeopardizing Lucas's primary means of transporting the drugs to the US undetected.

All in all, there's nothing special with this movie. The setting's so 70's. It's fun to watch New York in the 70s. The costumes is nice. Props is nice too. Now, the story itself is pretty standard. I think it's about the life of a gangster, which contrary to popular belief, is not always filled with gunshots and glamorous murders. The character Frank Lucas get to his position in top of the food chain by maintaining discipline, and keeping a low profile. It all comes down to one goal, to try as hard to avoid detection, lay low, be invisible, dont attract attention, so the cops will get off your back. If I had to rate this, I will give it 3-3.5 stars out of 5 stars. Such a shame really, considering you have 2 Academy-award winner starring, and an acclaimed director.

Tuesday, December 4, 2007

The Kingdom - Another reason to hate America?


Film ini bertabur bintang. Ada Oscar-winner Jamie Foxx, Chris Cooper, sang Elektra Jennifer Garner, dan pemenang Golden Globe award, Jason Bateman. Rottentomatoes memberi rating 53% dari 120 kuisioner. "The Kingdom" disutradarai oleh Peter Berg, dan di co-produseri oleh Michel Mann, sang sutradara dari film action legendaris, Heat.

Plot "The Kingdom" mengisahkan satu tim agen FBI yang pergi menyelidiki serangan bom di perumahan warga AS di Riyadh, Arab Saudi. Bahkan sebelum berangkat pun, Deplu AS menolak menyetujui kepergian tim FBI tersebut karena tidak ingin merusak hubungan diplomatik dgn Saudi. Ketika sampai di lokasi, begitu banyak hambatan menghalangi investigasi yang akan mereka lakukan. Tim baru bisa bergerak lebih bebas ketika mendapat jaminan dari Sultan, yang ingin mendapat kredit atas penyelidikan itu. Investigasi tersebut membawa mereka ke daerah yang berbahaya. Di tengah investigasi, seorang anggota tim diculik, dan investigasi ini berubah menjadi pertempuran mengejar waktu demi menyelamatkan salah seorang dari mereka.

Film ini dipenuhi bumbu action. Agak hardcore malahan kalo boleh saya bilang. Intense action and realisme dari adegan ke adegan. Michael Mann sutradara "Heat" memberikan kesan action yang sangat real. Ledakan bom, tembak-menembak semua seru bikin jantungan. Namun film ini juga diwarnai oleh kejutan kultural yang mewarnai hari-hari para agen FBI, mulai dari cara greetings, terutama kebiasaan Arab yang beda jauh dari kebiasaan AS memperlakukan seorang wanita, membuat salah seorang anggota tim agak salah tingkah.

"The Kingdom" disyuting sebagian besar justru di AS. Dengan sedikit syuting juga di Dubai, Uni Emirat Arab. Agak disayangkan film yang menggambarkan tentang Arab Saudi justru disyut di UAE. Para penonton film yang memperhatikan detil pasti akan kecewa.
Kritikus juga menilai film ini memberikan satu lagi alasan bagi dunia Arab untuk membenci Amerika. Saya menyayangkan ending film yang tidak memberikan semangat damai bagi semua pihak. Sangat sangat menyayangkan. Endingnya ingin memberikan kesan bahwa permusuhan antara Arab dan Amerika atau barat ini masih akan berlanjut. "We will kill'em all."
Patut disayangkan. Padahal film ini sudah cukup menghibur dengan adegan aksi yang mendebarkan. Sayang sekali.

Redacted - Violence breeds violence

"Redacted" menjadi film pembuka dalam beberapa festival film di Toronto Canada, di New York, dan di Venice, Itali.

Film besutan sutradara kondang Brian De Palma ini menyajikan kekerasan, extra-realisme, dan satu lagi gambaran tentang ulah "orang-orang stres bersenjata" yang membabi buta di Iraq. Terinspirasi oleh kisah nyata tentang pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis Iraq dan keluarganya oleh oknum AD-AS tahun 2006 (wikipedia: Mahmudiyah killings), Redacted mengisahkan tentang seorang prajurit AD-AS bernama Angel Salazar (Izzy Diaz) yang bercita-cita menjadi seorang sutradara terkenal di Hollywood.

Dalam masa tugasnya di Iraq, ia sekaligus membuat film dokumenter hanya dengan bermodalkan handycam biasa. Ia berharap, film ini akan jadi tiketnya utk menuju Hollywood. Namun sayangnya, suatu hari ia ditemukan tewas setelah hilang selama beberapa hari. Kelompok fundamentalis Iraq mengaku bertanggungjawab atas penculikan dan pembunuhan dirinya, sebagai aksi balas dendam atas pemerkosaan dan pembunuhan satu keluarga yang dilakukan oleh beberapa orang teman satu unit Salazar.
Film ini disajikan bergaya dokumenter, banyak adegan yang diambil dengan handycam, lalu ada lagi adegan yang seakan diambil dari kamera pengawas (cctv).
De Palma banyak menerima kritik atas film ini, kebanyakan beranggapan bahwa film ini sebagai propaganda untuk melemahkan semangat pasukan Amerika di Iraq, lalu beranggapan bahwa De Palma memberikan stereotype pasukan AS yang sering berlaku kasar kepada rakyat Iraq.

Sepertinya kemajuan teknik spesial efek memungkinkan extra-realisme di "Redacted" untuk tertayang utuh ke dalam layar perak. Adegan kaki putus karena menginjak ranjau, atau adegan "decapitation" oleh kaum fundamentalis terasa sangat real. Belum lagi adegan pemerkosaan yang terkesan agak vulgar, semuanya memaksa kita untuk berpikir ulang, sejauh mana batasan para sutradara dalam menyajikan realisme dalam sebuah film. Realisme is good, but not this far, please.

Monday, November 26, 2007

Quickie Express - Kocak, Segar, dan Berani

Belum pernah dalam seumur pengalaman kami antre di Setiabudi 21, ada sebuah film yang diantre oleh sekian banyak orang.
Film jam 17.20 yang jadi sasaran pertama ternyata luput, karena ketika sampai di depan loket, yang tersisa tinggal satu baris bangku terdepan. Kuurungkan niat memaksakan diri, dan akhirnya kubeli tiket utk jam 20.05, 2 Seat favorit kami di pinggir gang baris A yang ternyata masih kosong.

Antusiasme orang-orang terlihat bahkan sejak mulai menunggu untuk masuk ke gedung bioskopnya.Kami ada di baris terdepan diantara orang-orang yg antre menunggu seblum kami diperbolehkan masuk oleh mbak-mbak penyobek karcis.
Beberapa kali pintu dibuka, dan kami menunggu dengan antisipasi yg sangat tinggi, kapan akan dibolehkan masuk. Akhirnya jam 8pm lewat sekian, kami boleh masuk juga. Antrean di belakang kami udah kaya pasar malem, atau pasar pagi. Whatever..

Quickie Express mengisahkan tentang kisah tiga orang pemuda bernama Jojo (Tora Sudiro), Marle (Aming), dan Piktor (Lukman Sardi). Jojo, seorang pemuda kere, udah mencoba berbagai macam kerjaan mulai dari tukang tato sampai tukang tambal ban. Ketika suatu hari di tempat kerjanya (tukang tambal ban) dia bertemu dengan Om Mudakir, seorang 'pimp' kelas kakap, yg punya training center khusus utk para gigolo berkedok pengantar pizza, Quickie Express. Tertarik dgn tampang dan body macho Jojo, om Mudakir menawari Jojo utk menjadi gigolo. Di akademi gigolo Quickie Express ini Jojo bertemu dengan teman satu angkatannya, Marle, dan Piktor. Bertiga mereka belajar menjadi gigolo dengan baik dan benar. Mulai dari belajar alat reproduksi, sampai ke cara merayu seorang wanita.

Klien demi klien mereka dapatkan, sampai akhirnya bertemulah Jojo dengan Tante Mona (Ira Maya Sopha), seorang tante kaya kesepian. Masalah mulai timbul ketika Tante Mona ternyata jatuh cinta kepada Jojo, dan mengajaknya kawin lari ke luar negeri. Pada saat yang sama, Jojo sedang kasmaran dengan Lila (Sandra Dewi--yang kalo diperhatiin lama-lama mirip Dian Sastro), yang ternyata adalah anak dari Tante Mona, dan Jan Piter Gunarto (Rudy Wowor), bos preman.
Sebenarnya banyak hal yang disinggung oleh film ini. Tema besar dari film ini yang mengangkat kehidupan seorang gigolo saja sudah termasuk nyeleneh untuk ukuran orang Indonesia. Hal-hal seperti seks bebas, gigolo, pelacuran, narkoba, sampai ke adegan ciuman mesra di bibir dalam film selama ini termasuk yang agak tabu dibicarakan.

Kita biasanya suka membicarakan, tapi kita menjaga supaya orang lain tidak tahu kalau kita lagi membicarakan seks, atau malah lebih parah lagi, kita suka dan doyan ngomongin seks dan nonton bokep, tapi berpura-pura alim. Film ini seperti menemukan auranya di tengah kultur masyarakat yang seperti ini. Gigolo, adegan ciuman mesra, homoseksual, semua masih tergolong tema-tema baru yang menunggu untuk dibahas dan dibuka keluar oleh produk-produk budaya, dan film ini menjadi jembatan yang pas untuknya.

Keberanian sutradara (Dimas Jay) membahas tema-tema ini dalam balutan joke-joke yang segar, ditingkahi aktor-aktor yang terkenal kocak (aming dan tora), dan gadis-gadis cantik, akan menjadikan film ini termasuk sebagai salah satu film yang wajib tonton untuk memperkaya khasanah budaya dan wawasan pemikiran kita. Sehingga bisa menyegarkan pandangan kita yang selama ini butek oleh film-film horor dan cinta-cintaan remaja.

Tuesday, November 20, 2007

Lions for lambs - kritik usang sang penentang


Penggagas Sundance Institute dan Sundance Film Festival, Robert Redford menjadi sutradara dan
sekaligus pemain dari film ini. Plot film ini menceritakan tentang sebuah rentang waktu satu jam yg terisi oleh tiga kejadian terpisah yang saling berkaitan.

Redford menjadi seorang profesor (alias dosen) yang mencoba membangkitkan lagi semangat dan gairah anak didiknya, terutama seorang mahasiswa pintar bernama Todd Hayes (diperankan oleh Andrew Garfield), dengan cara menceritakan kisah tentang bekas mahasiswanya yg bernama Arian (Derek Luke) dan Ernest (Michael Pena) dua orang mahasiswa dari ras minoritas, yg memutuskan utk bergabung dgn US Army, sebagai cara mereka utk ikut terlibat dan berpartisipasi utk mewujudkan cita-cita mereka membuat dunia yg lebih baik.

Pada rentang waktu satu jam yg sama, Arian dan Ernest, saat ini sudah bergabung di kesatuan elit Army Rangers, sedang akan memulai satu misi utk menguasai dataran tinggi di Afghanistan, yang berdasarkan intel, daerah itu kosong dan tak berpenghuni.
Informasi intelijen ini datang dari seorang senator Republikan, Jasper Irving, yang diperankan oleh Tom Cruise, seorang mantan jendral US Army yg telah lama berkecimpung di dunia intelijen. Sang senator, pada rentang waktu satu jam yang sama juga sedang diinterview oleh reporter senior sebuah media network (yg diperankan dgn sangat baik oleh Merryl Streep), Janine Roth.
Irving diinterview tersebut menjelaskan sebuah strategi baru utk memenangkan perang di Afghanistan yaitu dengan menguasai dataran tinggi di pegunungan Afghanistan, dengan mengirimkan satuan-satuan kecil pasukan Army Rangers.

Film ini sarat dipenuhi kritik sosial, terhadap keputusan Amerika utk menyerang Iraq dan Afghanistan, juga terhadap sistem pendidikan Amerika, serta kritik terhadap perlakuan pemerintah thdp etnis minoritas di AS, serta semua kritik sosial terhadap pemerintah AS.
Dialog antara sang profesor dan mahasiswanya menjadi terlalu berat, dipenuhi oleh kritik-kritik usang. Seperti membaca sebuah koran pagi di negara dunia ketiga yg penduduknya tidak menyukai Amerika, atau membaca halaman blog seorang kritikus politik di internet.

Secara isi substansi cerita yg ingin disampaikan, film ini boleh dibilang tidak menawarkan sesuatu yg baru, dan hanya berdiri di pihak para kritikus kebijakan. Pribadi Redford sebagai seorang penentang, sangat mempengaruhi seluruh isi pesan yg hendak disampaikan. Walaupun itu akhirnya jadi suatu yg usang.
Di lain pihak, dialog pintar yg terjadi tidak didukung oleh penggambaran detail yg kita biasanya harapkan dari film-film kelas Oscar. Ini terutama terlihat saat adegan perang di pegunungan Afghanistan. Bloopers yg biasanya kita hanya bisa sadari setelah melihat film yg sama secara berulang-ulang, kali ini terlihat langsung pada saat pertama kali melihat. Patut disayangkan bahwa film yg dibintangi oleh tiga bintang besar, Robert Redford, Merryl Streep, dan Tom Cruise, serta disutradarai oleh Robert Redford (yg mana satu-satunya Oscar yg pernah beliau peroleh adalah dari penyutradaraan, bukan dari akting) masih dihiasi oleh bloopers sepele macam ini.
Akhir kata, film ini sebenarnya akan sangat menarik bila Redford bisa menawarkan suatu sudut pandang baru dalam melihat permasalahan yg ada, dan bukan terpaku pada satu sisi kritik yg sudah usang.

Beuwolf - Hero juga manusia (laki-laki tepatnya)


Another trip to Setiabudi 21. Kali ini di Studio 1, jam 19.45. As always, audiens aku dan
Ajengku. Tak dinyana, ternyata peminat film ini lumayan banyak. Kami yang datang jam 7 an lebih dapet tiket di pojok, walaupun masih di barisan A. Jauh dari tempat favorit kami di pinggir gang. Film yang jadi pilihan adalah Beowulf.
Setelah habis satu paket french fries, kurang 15 menit dari 19.45, pintu masuk teater 1 pun dibuka. Kami masuk, dan segera duduk.
Tidak lama, film pun dimulai.

Cerita dibuka dengan suasana pesta di sebuah kampung di Denmark tahun 503 AD. Mereka sedang berpesta bergembira ria merayakan entah apa, dan ketika tiba-tiba datang sebuah mahluk menyerupai manusia yang berukuran raksasa. Mahluk itu , yang bernama Grendel, mengamuk dan mengobrak abrik pesta yang sedang berlangsung. Kepanikan disana-sini. Banyak orang terbunuh. Setelah memporakporandakan pesta, Grendel menghilang. Si raja, Hrathgor, yang diperankan oleh Anthony Hopkins, menyetujui niat si pejuang Beowulf (Ray Winston) untuk membantunya membunuh Grendel di sarangnya di pegunungan. Beowulf datang ke sarang Grendel, dan membunuhnya. Ibu dari Grendel ini, yang diperankan oleh bintang Hollywood nan cuantik jelita dan sexy, si Angelina Jolie, merayu Beowulf untuk mau menjadi pasangannya.
Lalu Beowulf kembali ke desa itu, dan ia menjadi raja, setelah Hrathgor menyerahkan tampik kekuasaan kepada dirinya.

50 tahun kemudian, ada seekor naga yang mengamuk di daerah kekuasaannya. Naga ini ternyata adalah anaknya sendiri, hasil pergaulannya dengan si Ibu Grendel yang suexy tadi.
Naga itu akhirnya bisa dibunuh, namun harus dibayar pula dengan nyawa Beowulf.
Sebenarnya tidak ada yg istimewa dari film yg diadaptasi dari naskah cerita Inggris kuno ini. Paling tidak ia lumayan menjadi pelengkap, satu lagi utk mengisi deretan film-film bergenre naga yg pernah ada sebelumnya. Yang patut diberi catatan barangkali adalah teknologi yang menyertai pembuatannya. Beowulf dibuat dgn teknologi yang sama dgn film animasi The Polar Express. (Lihat foto Jolie sedang mengenakan pakaian bersensor laser utk pembuatan film ini)

Hasilnya adalah animasi yang sangat super-realisme, seperti film "300" (baca: Three Hundred) yg pernah ada di bioskop beberapa bulan lalu.

Film ini juga menyisipkan aksi-aksi manusiawi karakter-karakternya. Sosok raja (Hrathgor, dan kemudian Beowulf sendiri) yang biasanya digambarkan sebagai manusia tanpa cela (hampir aku bilang manusia setengah dewa..hihihi...) di film ini digambarkan sebagai sosok laki-laki yg normal, yg ternyata tidak tahan juga dengan godaan monster serem sesuexy mbak Angelina Jolie (liat gambarnya di awal tulisan ini).
Dari sisi artistik animasi, film ini cukup menghibur. Namun, tidak ada sesuatu yg baru yg ditawarkannya. Ceritanya, kita seperti pernah melihatnya di satu film terdahulu. Teknologinya apa lagi, jelas-jelas sama dgn film animasi yg disebut tadi. Lumayan cukup menghibur. Yang perlu diingat lagi, ini film animasi, bukan film kartun anak-anak. So, please dont bring your kids to watch this movie. It is so unappropriate.

Friday, October 5, 2007

No Reservations


Watching this movie at first, remind me of Ratatouille. An animated film about a rat who can cook very well, and end up helping a real cook who can not cook at all.


Kate, played by Catherine Zeta Jones is a top chef in a small but sophisticated restaurant called 22 Bleecker street in downtown New York. She has a very discipline, perfectionist, no-nonsense and uptight attitude that made her very hard to approach. But she is a very good chef. She works till late in the evening to made dishes, coordinate the kitchen, and greet fans who has come to that restaurant to enjoy her cooking. She also very high-tempered, and will charge instantly to any customer who thinks that the perfect cooking that she has prepared is still lacking.

Her life was changed when one day suddenly she lost a sister to an accident, and as the only relatives, she has to take care of Zoe, the daughter of her sister, played well by Abigail Breslin.

As days goes by, Kate has to face fact that she is not living alone anymore, and she has to adapt to Zoe, and be a mother for her too. This turns out to be not that easy. She has to divide her time between Zoe and the restaurant. To assist Kate,the owner of the restaurant hire a help in the kitchen, a talented chef name Nick. Nick turns out to be a very fun person. This opera-singing chef brings happiness to people around him, and everybody love him because of that.

Initially, Kate went cold to him, but gradually started to like him of his fun attitude, especially when he can make Zoe cheer up again.

This movie is an adaptation of a 2001 German movie called 'Mostly Martha. I read about "Mostly Martha" on the web. and it was nicely done movie, critics said. But "No Reservations" is not doing it the same. To tell you the truth, i can always tell if a movie turns out to be good or bad, in the first 15 minutes of the movie. And "No Reservations" really bored me to death in the first 15 minutes.

Everything going slowly. And after 15 minutes passed by, i can predict what will happen in the end. I think the writer got confused trying to focus in which genre. is it the romantic-comedy genre, or the sad-drama about a child trying to cope for her mother's death. This movie is trying to fit both genres in, and end up dissapointing.

I will not recommend this movie to be watched. But maybe if youre still dont have anything better to do, and you have no HBO at home, you can go spend the money to watch this movie. I will strongly suggest you to wait until the dvd available in ambas. hehehe...

here's a trivia: in almost every outdoor scene, theres someone in the background walking his/her dog, no matter day or night..just watch..

The Game Plan and Rp400k per person dinner



yesterday afternoon di tengah2 suasana males kerja dan lagi bingung mikir mau buka apa nanti sore my love call me dan ask me to accompany her to acara kantornya sorenya pas buka puasa. she said there gonna be premier run of a new movie called "Game Plan", and that The Rock will be starring that movie.

so on 4pm i race to the nearest busway-stop, and to my surprise, theres a lot of people already waiting for the busway. cape deh..jadi antrelah aku. lalulintas di jalur cepat dan lambat di depan ratu plasa udh berhenti total. maced parah. dan antriannya alamakkkkk desel-deselan kaya antre sembako. setelah menunggu hampir 15menitan barulah dapet giliran saya naik busway. my savior from the traffic jam--i thought. i was wrong. karena baswenya baru berjalan sekitar 500meter tepat di seberang bej dan dia berhenti. ikutan macet. ternyata karena jalur busway yg lewat bawah semanggi sepanjang hampir 300meteran itu direnovasi dan ditutup, sehingga mereka harus keluar ikut ke jalur cepat semanggi dan baru balik masuk lagi di depan atma. makan waktu setengah jam lebih gara2 macet disitu aja.

selepas itu smooth ride all the way to halte sarinah, where i got off and walked to jakarta teater. sampe di depan lotus ternyata lagi ada bazaar dan kutemukan kekasihku sedang belanja. xixixixi.....mentang2 abis terima thr. langsung deh kalap. (xixixi peace sayang)

so, gak sampe sepuluh menit kemudian azan magrib berkumandang dan kami batalkan puasa dgn yang seratus persen itu, lalu jalan ke venue berbuka puasa. kita masuk dari belakang deket gedung parkir, ternyata aku baru tau juga disitu ada satu tempat yg cukup luas seperti gedung teater yg diluarnya ada lounge and smoking room. di lounge ini ditata buffet-nya. so, using invitation card dari si bos yg decided not to come (yg ternyata kemudian dia jadidateng juga) we got in.

udah banyak orang disana, so we directly proceed to the buffet (lapar bo') dan langsung ikut antre. hmm nasi putih biasa, terus ada sayuran gak jelas gitu, terus di depan ada fillet ikan kakap goreng yg tdk begitu menarik, nah di depannya lagi ada roastbeef dgn saus jamur yg keliatannya yummy sekali. abis itu ada sate di ayam di pojokan, keliatanmasih banyak, jadi mgk gak begitu dilirik ama orang2. yg ampir2 abis adalah si roastbeef dan kakap itu. segera kupenuhi piring dengan roastbeef dan nasi setengah bakul; eh gak ding wong disitu gak pake bakul. hehe..

abis ambil makanan kami masuk ke dalam sebuah ruangan besar dimana udh banyak table disusun dan di deket bar ada beberapa baris kursi yg kosong. ada beberapa wajah yg familiar. seperti pernah liat dimana ya...eh tau2 di depanku mecungul wajahnya si sarah sechan dan dave hendrik lagi--mereka lewat sambil si sarah bilang ke dave kalau parkirnya susah banget bo disini. hmm...thats when i look around and realise kalo ternyata ada banyak sekali selebritis di ruangan itu.

bapak mc ternyata si penyiar hardrock/pembawa acara insert trans tv/penulis kolom di fhm indonesia itu, si siapa yg rambutnya jabrik pake kacamata...??? ada indra herlambang, meisya (yg ternyata cuantik sekawi), becky tumewu, irgi fahrezi (the only selebs in d room that look straight--hehee), nah ada lagi masayu, tomas jorgi (dandannya enggak banget deh), terus si dave hendrik tadi pake baju batik pak lurah, terus ada lagi si alien eh aline tambunan (so hot...), and last but not least,...mrs glenn fredly...dewi sandra herself. but, bojonya ga ikut kayanya,
dan ada beberapa lagi artis2 yg biasa masuk tipi. dan ternyata dimana2 banyak wartawan dan kameramen dari infotainment, ada dari anteve, trans7, trans tv, terus banyak fotografer...waw...kayanya event ini cukup penting.

after that i was so busy eating...and man...i couldnt describe the food..it was delicious pangkat seribu...!!! enak bangetttttt.........belum pernah nemu roastbeef seempuk dan bumbu seenak itu di acara apapun yg pernah aku datangi sebelumnya (dasar katro). anyway, aku sibuk bolak balik makan, ambil sate dan nambah roastbeef lagi (minus nasi). sampe kekenyangan dan tak sanggup lagi nambah. salah seorang panitia, kebetulan ex-boss of my love said that the dinner is Rp 400ribu per orang by William Wongso. hmmm...no wonder..

acaranya ternyata adalah service kepada para nasabah besar danamon, yg dihadiri artis2 dan seleb, serta para penggembira. konsep acaranya adalah makan dan nonton. casual dinner and movie date. lucu juga. did i mention movie? yes, karena jam 7nya kita semua dan para tamu pindah ke teater 1 untuk nonton film berjudul "Game Plan" yg dibintangi dwayne "the rock" johnson. filmnya komedi romantis.

the story revolve around joe kingman (the rock), seorang bintang football terkenal dan kaya raya yang tiba-tiba harus memelihara anaknya yg selama ini dia gak tau bhw dia ada. kehebohan dan kerepotan yg harus dijalani dalam memelihara seorang anak (mengingat biasanya dia adalah seorang bujangan yg hidup penuh dgn party dan dikelilingi gadis2 cantik) jadi kisah yg memenuhi film ini, dan menghidupkan film ini. the rock memainkan peran ini dengan baik sekali, dan sedikit mereduksi imej seorang pegulat wwf yg biasa kita lihat darinya. ceritanya mulai bergulir, joe kingman yg tadinya hidup dgn imej sangar seorang pemain futbol lambat laun menyesuaikan diri dengan kehadiran seorang gadis kecil berumur 8 tahun bernama Peyton (Madison Pettis) yg mengisi hari2nya. kesediaan kingman untuk ikut bermain balet dalam pementasan bersama Peyton menjadi turning poin perubahan dalam hidupnya. kingman lambat laun mulai menyadari bahwa dia sangat mencintai Peyton dan tidak bisa hidup tanpanya. namun kingman harus menempuh satu tantangan terbesar lagi, yg menuntutnya utk berkonsentrasi penuh menghadapi final sebuah pertandingan futbol dan menerima sponsorship terbesar sepanjang karirnya, atau memilih menyerah di akhir karirnya dan sepenuhnya fokus pada membesarkan Peyton. berhasilkah dia menghadapi tantangan ini? saksikan filmnya...hahaha...(sorry guys this is a teaser only..and i dont want to publish the ending)

the film lasted until it was 10.15pm. hmm ternyata dinner&movie date ini turn out to be very satisfying. not everyday i got the opportunity to have dinner and then watch romantic comedy movie with the stars. benar2 malam bertabur bintang. thanks ya sayang.

Tuesday, October 2, 2007

Die Hard 4.0 and Transformers


Die Hard 4.0 -- antiklimaksss...

Waduh waduh...kuciwa deh..Die Hard 4.0 bener-bener tidak memuaskan..edi tansil...antiklimakss...very much unlike the previous Die Hards. First, the story. Kayanya writernya bingung mau cari musuh siapa lagi. Musuh dari tiga film sebelumnya masih ada hubungan; teroris di film kedua adalah adik dr teroris di film pertama, dan teroris film ketiga adalah sepupu dr teroris film pertama dan kedua. Nah, teroris di film versi 4.0 ini kayanya bingung mencari identitas. Dan mungkin juga produsernya bingung, mau cari musuh dr mana ya. Gak mungkin pake teroris dari Timur Tengah/ Arab/ Al-Qaeda, krn itu berarti stereotyping, akan bikin blunder, dan akan membatasi area peredaran film--satu hal yg harus dihindari. Ketika mereka beralih ke cyber-teroris, it was the most easy choice.

Sekelompok teroris cyber yg berusaha ngehack ke jaringan komputer AB-AS dan berhasil membikin kekacauan di semua sektor pelayanan publik. Mulai dr pengatur traffic, sampe telekomunikasi, internet, dan jaringan pertahanan. Tapi justru disitulah letak realismenya berkurang. Semua jaringan komunikasi, sekuriti, dan bahkan cctv yg bisa di hack dan dikontrol secara remote, kayanya sampe saat ini belum umum. Akibatnya, orang jadi kehilangan koneksi dengan realitas. Kritik lainnya; masa iya sih jaringan internet dan vpn dari angkatan bersenjata amerika serikat--yg ceritanya negara paling berkuasa di muka bumi--bisa down oleh sekelompok teroris-cyber yg to be honest, menurutku not very well organised. Sulit rasanya percaya sekelompok orang yg keliatannya terlalu sedikit, tidak terlalu canggih, dan tidak terlalu banyak persenjataannya.

FBI dan NSA yg katanya intelijen paling canggih di seantero dunia ini bisa tidak berkutik menghadapi cyber-teroris nanggung (Seorang mantan pejabat IT Pentagon yg kecewa karena dibuang begitu saja setelah usulnya tidak diterima oleh para decision makers di DOD). Terlalu menggampangkan. Kurang komplikasi, dan efeknya kurang realisme. Berikutnya, di film digambarkan para hacker putih yg secara tidak sengaja sempat terlibat dgn teroris cyber ini dibunuh dengan cara men-trigger dari jauh bom yg ditaruh di dekat komputer si hackers ini. Correct me if im wrong, setauku biasanya hackers adalah yg seharian berada di dpn komputer trying to hack into somebody's system. Kapan si teroris itu bisa sempat memasukkan bom ke rmh para hackers tadi??? Masuk akal gak sih...

Jaringan internet dan koneksi badan-badan vital Amerika juga digambarkan begitu gampangnya down, seakan tidak ada failsave-nya, tidak ada backup system yg bisa mentake-over jaringan yg down. aneh sekali. Another kritiks; too many product placements!!! Seperti liat iklan Nokia. Semua hp dari nokia. Mulai dari teroris sampe jagoan, semua janjian pake satu merek alat komunikasi. Anyway, menurut penilaianku, film ini akan jadi sangat garing kl saja tidak ada si teroris cantik yg diperankan Maggie Q--dan tidak ada demo gadget2 canggih. So i guess this recipe is not working anymore Mr John Mc Clane.. u better start thinking another way to amaze people..

July 10, 2007 in Film


akhirnya......a movie worth watching the second time, and maybe third, and fourth..TRANSFORMERS...keren bangeet.........you guys should watch it..really really cool..mulai dari awal sampe akhir...kita akan dibuat ketawa, excited, penasaran, sampe puas banget...
bahkan sampe gak terasa kl my ajeng pegangin tanganku kenceng banget sampe sakit banget...saking tegangnya kita nonton saat optimus habis-habisan dihajar ama megatron..
i'll give 10 out of 10 for authenticity..sentuhan spielberg emang bikin beda banget. tadinya aku expecting something yg film science-fiction biasa. tapi ternyata realisme-nya begitu kental. ditambah bumbu-bumbu humor dari percakapan casual yg mengundang tawa..
dan sebagai penggila peralatan perang dan hal berbau militer, puasssssss banget...hampir semua arsenal angkatan bersenjata amerika dapet bagian dalam adegan-adegannya......mulai dari ac-130 spectre gunship, jet tempur stealth terbaru au as f-22 raptor, f-16 fighting falcon, sampe ke main battle tank m-1 abrams, v-22 osprey, c-17 globemaster.. bahkan sampe ke kapal induk dan battleshipnya...semua ada disitu...gila gila gila...
aku pengen nonton lagi...sayang ayo kita nonton lagi...ajak glen ama habib ya...

July 02, 2007

Friday, February 16, 2007

Welcome to My Sequel

Enjoying and reviewing movies...my way