Monday, November 26, 2007

Quickie Express - Kocak, Segar, dan Berani

Belum pernah dalam seumur pengalaman kami antre di Setiabudi 21, ada sebuah film yang diantre oleh sekian banyak orang.
Film jam 17.20 yang jadi sasaran pertama ternyata luput, karena ketika sampai di depan loket, yang tersisa tinggal satu baris bangku terdepan. Kuurungkan niat memaksakan diri, dan akhirnya kubeli tiket utk jam 20.05, 2 Seat favorit kami di pinggir gang baris A yang ternyata masih kosong.

Antusiasme orang-orang terlihat bahkan sejak mulai menunggu untuk masuk ke gedung bioskopnya.Kami ada di baris terdepan diantara orang-orang yg antre menunggu seblum kami diperbolehkan masuk oleh mbak-mbak penyobek karcis.
Beberapa kali pintu dibuka, dan kami menunggu dengan antisipasi yg sangat tinggi, kapan akan dibolehkan masuk. Akhirnya jam 8pm lewat sekian, kami boleh masuk juga. Antrean di belakang kami udah kaya pasar malem, atau pasar pagi. Whatever..

Quickie Express mengisahkan tentang kisah tiga orang pemuda bernama Jojo (Tora Sudiro), Marle (Aming), dan Piktor (Lukman Sardi). Jojo, seorang pemuda kere, udah mencoba berbagai macam kerjaan mulai dari tukang tato sampai tukang tambal ban. Ketika suatu hari di tempat kerjanya (tukang tambal ban) dia bertemu dengan Om Mudakir, seorang 'pimp' kelas kakap, yg punya training center khusus utk para gigolo berkedok pengantar pizza, Quickie Express. Tertarik dgn tampang dan body macho Jojo, om Mudakir menawari Jojo utk menjadi gigolo. Di akademi gigolo Quickie Express ini Jojo bertemu dengan teman satu angkatannya, Marle, dan Piktor. Bertiga mereka belajar menjadi gigolo dengan baik dan benar. Mulai dari belajar alat reproduksi, sampai ke cara merayu seorang wanita.

Klien demi klien mereka dapatkan, sampai akhirnya bertemulah Jojo dengan Tante Mona (Ira Maya Sopha), seorang tante kaya kesepian. Masalah mulai timbul ketika Tante Mona ternyata jatuh cinta kepada Jojo, dan mengajaknya kawin lari ke luar negeri. Pada saat yang sama, Jojo sedang kasmaran dengan Lila (Sandra Dewi--yang kalo diperhatiin lama-lama mirip Dian Sastro), yang ternyata adalah anak dari Tante Mona, dan Jan Piter Gunarto (Rudy Wowor), bos preman.
Sebenarnya banyak hal yang disinggung oleh film ini. Tema besar dari film ini yang mengangkat kehidupan seorang gigolo saja sudah termasuk nyeleneh untuk ukuran orang Indonesia. Hal-hal seperti seks bebas, gigolo, pelacuran, narkoba, sampai ke adegan ciuman mesra di bibir dalam film selama ini termasuk yang agak tabu dibicarakan.

Kita biasanya suka membicarakan, tapi kita menjaga supaya orang lain tidak tahu kalau kita lagi membicarakan seks, atau malah lebih parah lagi, kita suka dan doyan ngomongin seks dan nonton bokep, tapi berpura-pura alim. Film ini seperti menemukan auranya di tengah kultur masyarakat yang seperti ini. Gigolo, adegan ciuman mesra, homoseksual, semua masih tergolong tema-tema baru yang menunggu untuk dibahas dan dibuka keluar oleh produk-produk budaya, dan film ini menjadi jembatan yang pas untuknya.

Keberanian sutradara (Dimas Jay) membahas tema-tema ini dalam balutan joke-joke yang segar, ditingkahi aktor-aktor yang terkenal kocak (aming dan tora), dan gadis-gadis cantik, akan menjadikan film ini termasuk sebagai salah satu film yang wajib tonton untuk memperkaya khasanah budaya dan wawasan pemikiran kita. Sehingga bisa menyegarkan pandangan kita yang selama ini butek oleh film-film horor dan cinta-cintaan remaja.

Tuesday, November 20, 2007

Lions for lambs - kritik usang sang penentang


Penggagas Sundance Institute dan Sundance Film Festival, Robert Redford menjadi sutradara dan
sekaligus pemain dari film ini. Plot film ini menceritakan tentang sebuah rentang waktu satu jam yg terisi oleh tiga kejadian terpisah yang saling berkaitan.

Redford menjadi seorang profesor (alias dosen) yang mencoba membangkitkan lagi semangat dan gairah anak didiknya, terutama seorang mahasiswa pintar bernama Todd Hayes (diperankan oleh Andrew Garfield), dengan cara menceritakan kisah tentang bekas mahasiswanya yg bernama Arian (Derek Luke) dan Ernest (Michael Pena) dua orang mahasiswa dari ras minoritas, yg memutuskan utk bergabung dgn US Army, sebagai cara mereka utk ikut terlibat dan berpartisipasi utk mewujudkan cita-cita mereka membuat dunia yg lebih baik.

Pada rentang waktu satu jam yg sama, Arian dan Ernest, saat ini sudah bergabung di kesatuan elit Army Rangers, sedang akan memulai satu misi utk menguasai dataran tinggi di Afghanistan, yang berdasarkan intel, daerah itu kosong dan tak berpenghuni.
Informasi intelijen ini datang dari seorang senator Republikan, Jasper Irving, yang diperankan oleh Tom Cruise, seorang mantan jendral US Army yg telah lama berkecimpung di dunia intelijen. Sang senator, pada rentang waktu satu jam yang sama juga sedang diinterview oleh reporter senior sebuah media network (yg diperankan dgn sangat baik oleh Merryl Streep), Janine Roth.
Irving diinterview tersebut menjelaskan sebuah strategi baru utk memenangkan perang di Afghanistan yaitu dengan menguasai dataran tinggi di pegunungan Afghanistan, dengan mengirimkan satuan-satuan kecil pasukan Army Rangers.

Film ini sarat dipenuhi kritik sosial, terhadap keputusan Amerika utk menyerang Iraq dan Afghanistan, juga terhadap sistem pendidikan Amerika, serta kritik terhadap perlakuan pemerintah thdp etnis minoritas di AS, serta semua kritik sosial terhadap pemerintah AS.
Dialog antara sang profesor dan mahasiswanya menjadi terlalu berat, dipenuhi oleh kritik-kritik usang. Seperti membaca sebuah koran pagi di negara dunia ketiga yg penduduknya tidak menyukai Amerika, atau membaca halaman blog seorang kritikus politik di internet.

Secara isi substansi cerita yg ingin disampaikan, film ini boleh dibilang tidak menawarkan sesuatu yg baru, dan hanya berdiri di pihak para kritikus kebijakan. Pribadi Redford sebagai seorang penentang, sangat mempengaruhi seluruh isi pesan yg hendak disampaikan. Walaupun itu akhirnya jadi suatu yg usang.
Di lain pihak, dialog pintar yg terjadi tidak didukung oleh penggambaran detail yg kita biasanya harapkan dari film-film kelas Oscar. Ini terutama terlihat saat adegan perang di pegunungan Afghanistan. Bloopers yg biasanya kita hanya bisa sadari setelah melihat film yg sama secara berulang-ulang, kali ini terlihat langsung pada saat pertama kali melihat. Patut disayangkan bahwa film yg dibintangi oleh tiga bintang besar, Robert Redford, Merryl Streep, dan Tom Cruise, serta disutradarai oleh Robert Redford (yg mana satu-satunya Oscar yg pernah beliau peroleh adalah dari penyutradaraan, bukan dari akting) masih dihiasi oleh bloopers sepele macam ini.
Akhir kata, film ini sebenarnya akan sangat menarik bila Redford bisa menawarkan suatu sudut pandang baru dalam melihat permasalahan yg ada, dan bukan terpaku pada satu sisi kritik yg sudah usang.

Beuwolf - Hero juga manusia (laki-laki tepatnya)


Another trip to Setiabudi 21. Kali ini di Studio 1, jam 19.45. As always, audiens aku dan
Ajengku. Tak dinyana, ternyata peminat film ini lumayan banyak. Kami yang datang jam 7 an lebih dapet tiket di pojok, walaupun masih di barisan A. Jauh dari tempat favorit kami di pinggir gang. Film yang jadi pilihan adalah Beowulf.
Setelah habis satu paket french fries, kurang 15 menit dari 19.45, pintu masuk teater 1 pun dibuka. Kami masuk, dan segera duduk.
Tidak lama, film pun dimulai.

Cerita dibuka dengan suasana pesta di sebuah kampung di Denmark tahun 503 AD. Mereka sedang berpesta bergembira ria merayakan entah apa, dan ketika tiba-tiba datang sebuah mahluk menyerupai manusia yang berukuran raksasa. Mahluk itu , yang bernama Grendel, mengamuk dan mengobrak abrik pesta yang sedang berlangsung. Kepanikan disana-sini. Banyak orang terbunuh. Setelah memporakporandakan pesta, Grendel menghilang. Si raja, Hrathgor, yang diperankan oleh Anthony Hopkins, menyetujui niat si pejuang Beowulf (Ray Winston) untuk membantunya membunuh Grendel di sarangnya di pegunungan. Beowulf datang ke sarang Grendel, dan membunuhnya. Ibu dari Grendel ini, yang diperankan oleh bintang Hollywood nan cuantik jelita dan sexy, si Angelina Jolie, merayu Beowulf untuk mau menjadi pasangannya.
Lalu Beowulf kembali ke desa itu, dan ia menjadi raja, setelah Hrathgor menyerahkan tampik kekuasaan kepada dirinya.

50 tahun kemudian, ada seekor naga yang mengamuk di daerah kekuasaannya. Naga ini ternyata adalah anaknya sendiri, hasil pergaulannya dengan si Ibu Grendel yang suexy tadi.
Naga itu akhirnya bisa dibunuh, namun harus dibayar pula dengan nyawa Beowulf.
Sebenarnya tidak ada yg istimewa dari film yg diadaptasi dari naskah cerita Inggris kuno ini. Paling tidak ia lumayan menjadi pelengkap, satu lagi utk mengisi deretan film-film bergenre naga yg pernah ada sebelumnya. Yang patut diberi catatan barangkali adalah teknologi yang menyertai pembuatannya. Beowulf dibuat dgn teknologi yang sama dgn film animasi The Polar Express. (Lihat foto Jolie sedang mengenakan pakaian bersensor laser utk pembuatan film ini)

Hasilnya adalah animasi yang sangat super-realisme, seperti film "300" (baca: Three Hundred) yg pernah ada di bioskop beberapa bulan lalu.

Film ini juga menyisipkan aksi-aksi manusiawi karakter-karakternya. Sosok raja (Hrathgor, dan kemudian Beowulf sendiri) yang biasanya digambarkan sebagai manusia tanpa cela (hampir aku bilang manusia setengah dewa..hihihi...) di film ini digambarkan sebagai sosok laki-laki yg normal, yg ternyata tidak tahan juga dengan godaan monster serem sesuexy mbak Angelina Jolie (liat gambarnya di awal tulisan ini).
Dari sisi artistik animasi, film ini cukup menghibur. Namun, tidak ada sesuatu yg baru yg ditawarkannya. Ceritanya, kita seperti pernah melihatnya di satu film terdahulu. Teknologinya apa lagi, jelas-jelas sama dgn film animasi yg disebut tadi. Lumayan cukup menghibur. Yang perlu diingat lagi, ini film animasi, bukan film kartun anak-anak. So, please dont bring your kids to watch this movie. It is so unappropriate.